Senin, 13 Mei 2013

BAB 14 PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI


Contoh Kasus Penyelesaian Sengketa Ekonomi
 

1. Penyelesaian Sengketa ekonomi dengan cara Negosiasi
PT Sara Lee Indonesia, perusahaan besar yang bergerak di consumer product, diguncang masalah dengan karyawanya. Sekitar 200 buruh bagian pabrik roti yang tergabung dalam Gabungan Serikat Pekerja PT Sara Lee Indonesia, menggelar aksi mogok kerja di halaman pabrik, Jalan Raya Bogor Km 27 Jakarta Timur, Rabu (19/11/10).
Aksi mogok kerja ini, ternyata tidak hanya di Jakarta namun serentak di seluruh distributor Sara Lee se-Indonesia. Bahkan, buruh yang ada di daerah mengirim ‘utusan’ ke Jakarta untuk memperkuat tuntutannya. Utusan itu bukan orang, namun berupa spanduk dari Sara Lee yang dikirim dari beberapa daerah.
Dalam aksinya di depan pabrik, para buruh yang mayoritas perempuan ini membentangkan spanduk berisikan tuntutan kesejahteraan kepada manajemen perusahaan yang berbasis di Chicago Sara Lee Corporation dan beroperasi di 58 negara, pasar merek produk di hampir 200 negara serta memiliki 137.000 karyawan di seluruh dunia.
Dengan mengenakan kaos putih dan ikat merah di kepalanya. Buruh merentangkan belasan spanduk, di antaranya bertuliskan: “Kami bukan sapi perahan, usir kapitalis”, “Rp 16 triliun, Bagian kami mana?”, “Jangan lupa karyawan bagian dari aset perusahaan juga.” “Kami Minta 7 Paket”, “Perusahaan Sara Lee Besar Kok Ngasih Kesejahteraan Kecil” juga tuntutan lain tentang kesejahteraan dan gaji yang rendah.
Spanduk juga terpasang di pagar pabrik Sara Lee, juga ada sehelai kain berisi tanda tangan para pekerja dan 12 poster yang mewakili suara masing-masing tim dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Banyuwangi, Medan, Makassar, Denpasar, Jember, Surabaya, Madiun, Kediri, Gorontalo, Samarinda, Lombok dan Aceh.
Poster dari Surabaya GT tertera beberapa kalimat yang berbunyi: “Kami tidak akan berhenti mogok, sebelum kalian penuhi tuntutan buruh, penjahat aja tahu balas budi, kalian?” Juga poster dari Tim Banyuwangi menyuarakan: “Kedatangan kami bukan untuk berdebat, kami datang untuk meminta hak kami, jangan bersembunyi di belakang UU, dan jangan ambil jatah kami, ayo bicaralah untuk Indonesia.”
“Kami terpaksa mogok karena jalan berunding sudah buntu dari pertemuan tripartit antara manajemen perusahaan dengan serikat pekerja. Banyak tuntutan yang kami ajukan mulai kesejahteraan, peningkatan jumlah pesangon dan kompensasi dari manajemen,” ungkap seorang buruh wanita yang enggan disebut namanya.
Buruh takut menyebut nama, sebab manajemen perusahaan akan terus melakukan intimidasi yang menyakitkan. “Ini aksi dalam jumlah yang kecil, dan menggerakan lebih besar dan sering melancarkan aksi, jika tuntutan kami tak dikabulkan,” sambungnya.
Perwakilan manajemen sempat mengimbau peserta aksi mogok untuk kembali bekerja melalui pengeras suara, namun ditolak oleh pekerja. Hingga kini aksi buruh terus bertambah sebab karyawan dari distributor Jakarta, Bogor, Tanggeran, Depok dan Bekasi satu persatu memperkuat aksinya itu. 
Buruh lainnya mengatakan kasus ini bermula dari penjualan saham Sara Lee dijual kepada perusahaan besar. Ternyata, perusahaan baru itu Setelah enggan menerima karyawan lain, sehingga nasib karyawan menjadi terkatung-katung. Bahkan, memutus hubungan kerja seenaknya saja. Buruh pun aktif demo. 
Sara Lee merasa malu dengan aksi yang mencoreng perusahaan raksasa inim sehingga siap melakukan perundingan tripartit. Sayangnya, hingga kini belum ada kesepakatan karena manajemen perusahaan memberikan nilai pesangon yang sangat rendah, tak sesuai pengabdian karyawan.


Komentar :
Menurut saya, Manajemen PT. Saralee harus berunding terlebih dahulu dengan para buruh agar menemui suatu titik kesepakatan. Jika PT. Saralee tidak memperoleh laba yang ia targetkan, seharusnya ia dapat mengambil kebijaksanaan yang tidak membuat salah satu pihak rugi akan hal ini. Perundingan secara kekeluargaan adalah satu-satunya solusi yang dapat meredam demo. Jika demo terus terjadi, pihak Saralee malah akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi, karena jika kegiatan operasional tidak berjalan seperti biasa, laba pun tidak akan didapatkan oleh PT.Saralee.


2. Penyelesaian Sengketa dengan cara Mediasi
Sebuah organisasi pendidikan (dalam contoh kasus ini disebut Organisasi X) dalam jangka waktu dua puluh lima tahun telah berkembang dengan pesat; saat ini memiliki tiga institusi pendidikan tinggi, sekitar dua puluh tiga ribu mahasiswa aktif, lebih dari seribu orang dosen dan sekitar tuiuh ratus karyawan dengan lima lokasi kampus di berbagai tempat starategis di pusat kota Jakarta. Didorong oleh konflik pribadi dengan pemilik organisasi, ketidak puasan terhadap beberapa kebijakan kepegawaian dan didukung oleh sebuah partai politik tertentu yang berniat menanamkan pengaruh dalam ketiga perguruan tinggi milik organisasi tersebut, sekelompok karyawan muda membentuk sebuah Serikat Pekerja (dalam tulisan ini disebut SP-A) di dalam organisasi tersebut.
Sepak terjang SP-A menjurus kontroversial, provokatif terhadap sesama karyawan dan konfrontatif terhadap Organisasi X, yang berdampak negatif terhadap suasana kerja dan kinerja organisasi dan perguruan-perguruan tingginya, antara lain dalam bentuk kegelisahan, was-was, saling curiga, tidak puas dan mengarah kepada perpecahan antar karyawan, yang secara drastis menurunkan pruduktivitas karyawan dan organisasi. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran kepada sebagian besar karyawan maupun para pimpinan organisasi dan institusi pendidikan tinggi yang ada di dalamnya; apabila dibiarkan berlarut-larut dapat berakibat fatal terhadap eksistensi organisasi dan seluruh karyawan yang bernaung di dalamnya.
Mengantisipasi kemungkinan tersebut kemudian sekelompok karyawan senior yang mempunyai komitmen tinggi terhadap organisasinya membentuk sebuah Serikat Pekerja baru (dalam tulisan ini disebut SP-B).
Sasaran jangka pendek SP-B adalah : memulihkan kembali iklim kerja yang kondusif, meningkatkan kembali produktivitas, dan mengusahakan peningkatan kesejahteraan karyawan. Langkah-langkahnya cenderung rasional, persuasif dan kooperatif baik kepada Organisasi X, SP-A maupun sesama karyawan.

Komentar :
Telah dilakukan upaya-upaya penyelesaian konflik di antara ketiga pihak yang terlibat melalui negosiasi-negosiasi langsung, namun tidak membawa hasil, sehingga kemudian SP–A membawa permasalahannya kepada pihak ketiga (yaitu Departemen Tenaga Kerja) untuk bertindak sebagai mediator.
Mediasi langsung antara Mediator dengan SP–A, tanpa melibatkan Organisasi X dan SP–B.
Mediasi langsung antara Mediator dengan Organisasi X, tanpa melibatkan SP–A dan SP–B.
Mediasi langsung antara Mediator dengan SP–B, tanpa melibatkan SP–A dan Organisasi X.
Mediasi langsung antara Mediator dengan ketiga pihak yang terlibat konflik secara bersama-sama.
Melalui pendekatan-pendekatan intensif berdasarkan peraturan ketenaga kerjaan yang berlaku oleh mediator kepada SP–A dan Organisasi X melalui pertemuan-pertemuan formal dan informal, diperoleh hasil sebagai berikut :
 Pengurus dan anggota SP–A yang tetap bersikap keras satu persatu mengundurkan diri, sedangkan anggota-anggota yang masih ingin bekerja di Organisasi X sebagian bergabung dengan SP–B dan sebagian kecil tetap di SP–A.
SP–B menjadi semakin eksis karena missinya yang searah dengan missi Organisasi X : bekerja sama dengan Organisasi X sebagai mitra untuk mensejahterakan karyawan melalui peningkatan produktivitas, serta strateginya yang tepat : rasional, persuasif dan koordinatif kepada SP–A, Organisasi X maupun Mediator.
Iklim kerja berangsur-angsur pulih dan lebih kondusif
Motivasi kerja kembali meningkat
Produktivitas karyawan dan institusi pendidikan meningkat
Peraturan kepegawaian dibakukan dalam bentuk Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sesuai dengan arahan dari Departemen Tenaga Kerja, sehingga ada kejelasan dan kepastian hukum yang dapat di pegang oleh Organisasi X maupun karyawan, SP-A dan SP-B


3. Penyelesaian Sengketa dengan  Arbitrase
Pemerintah Indonesia optimistis bakal memenangi arbitrase internasional kasus PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang sidang perdananya dijadwalkan berlangsung di Jakarta, Selasa (9/12). Namun, pemerintah RI terancam untuk membayar kewajiban senilai US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 29 triliun.Besaran kewajiban tersebut terdiri atas segala biaya yang dikeluarkan NNT berdasarkan nilai buku dan beban atas 7.000 karyawan perusahaan tambang yang mayoritas sahamnya dikuasai Sumitomo Corp dan Newmont Corporation Ltd tersebut. Selain itu, pemerintah pun harus menyelesaikan kewajiban NNT terhadap pembeli yang terkontrak, pemasok, dan kreditor.


Kemungkinan pemerintah bakal rugi bila memenangi arbitrase melawan NNT ini pun secara eksplisit tampak dalam perjanjian kontrak karya (KK) yang diteken pemerintah RI dan NNT. Pasal 22 butir (5) KK yang diteken NNT dan pemerintah RI pada 2 Desember 1986 menyatakan; apabila pengakhiran (terminasi) terjadi selama periode operasi atau sebagian akibat habisnya jangka waktu persetujuan ini, semua harta kekayaan perusahaan, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang berada di dalam wilayah KK harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga yang besarnya sama dengan ongkos perolehan atau menurut harga pasar, mana yang lebih rendah, tetapi bagaimana pun tidak akan lebih rendah dari nilai buku.


Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) Departemen ESDM Bambang Setiawan mengatakan, bila pemerintah Indonesia memenangi gugatan, pihaknya tidak mempersoalkan sekiranya harus memenuhi kewajiban yang diputuskan dalam arbitrase.
“Kalau memang itu diatur dalam KK, ya harus dipenuhi. Namun, tidak serta merta pemerintah yang membelinya, mungkin melalui BUMN sektor pertambangan, seperti PT Aneka Tambang Tbk atau PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) Tbk,” ujar Bambang kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.
Kendati begitu, Bambang berpendapat, nilai aset buku PT NNT saat ini harus dibuktikan terlebih dahulu oleh sebuah lembaga audit independen. “Tidak bisa asal disebut saja,” ujarnya.


Pasal 24 ayat 33 KK antara pemerintah RI dan NNT menyatakan; pemegang saham asing NNT diwajibkan menawarkan saham NNT sehingga pada 2010 minimal 51% saham NNT akan beralih ke pemerintah Indonesia atau peserta Indonesia lainnya. Saat ini, 80% saham NNT yang mengeksploitasi tambang tembaga dan emas di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) dikuasai Nusa Tenggara Partnership (Newmont 45% dan Sumitomo 35%). Sisa 20% saham dimiliki PT Pukuafu Indah.
Pada 2006, NNT menawarkan 3% senilai US$ 109 juta saham kepada mitra Indonesia dan masing-masing 7% pada 2007 senilai US$ 282 juta dan 2008 sebesar US$ 426 juta. Dua tahun lalu, NNT menawarkan saham kepada pemerintah daerah. Pemkab Sumbawa dan Pemprov NTB memperoleh 2%, sedangkan Pemkab Sumbawa Barat 3%.


Dalam proses penawaran saham mencuat perbedaan penafsiran terhadap KK khususnya pasal 24 antara pemerintah dan NNT. Persoalan yang muncul antara lain soal saham NNT yang digadaikan kepada kreditor, kendati sebetulnya telah disetujui pemerintah Indonesia pada 1997. Karena tidak ada kesepakatan, belakangan pemerintah Indonesia secara bersamaan dengan PT NNT membawa kasus tersebut ke ke arbitrase.
Menurut anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PAN Alvien Lie, bila ada ketentuan pemerintah harus membayar kewajiban kepada NNT, pemerintah dapat membeli perusahaan tersebut dengan diangsur. “Tidak ada aturan yang harus membayarnya secara tunai. Diangsur saja misalnya 50 tahun,” jelasnya.


Dirut PTBA Sukrisno mengatakan, pihaknya hingga kini belum bisa berkomentar terkait usulan pemerintah mengharuskan perusahaan membeli aset NNT. “Kami belum tahu asal usul kedudukan NNT. Kalau pun ada gambaran soal pembelian, masih akan dibicarakan lebih lanjut antara direksi, komisaris, dan pemegang saham,” katanya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Senior Director, Communications and Media Relations Newmont Mining Corporation Omar Jabara yang dihubungi melalui surat elektronik di Denver, AS, Minggu (7/12) tak bersedia memberi tanggapan. Juru bicara Newmont Rubi W Purnomo kepada Investor Daily, kemarin, mengatakan, sampai saat ini pihaknya ingin memberikan kesempatan bagi proses penyelesaian atas perbedaan melalui arbitrase yang bebas dari sorotan dan spekulasi di media massa.
“Untuk itu, pada saat ini, kami tidak ingin memberikan pernyataan apapun yang berhubungan dengan arbitrase dan divestasi PT NNT,” ujarnya.

Secara terpisah, Direktur Centre for Indonesian Mining and Resources Law Ryad A Chairil mengungkapkan, pemerintah tidak mungkin memenangi gugatan arbitrase NNT. Sejak 17% saham itu ditawarkan, menurut Ryad, pemerintah pusat maupun daerah tidak bisa menunjukkan dengan jelas pihak mana yang akan membeli saham tersebut.
“Secara finansial, pemerintah bahkan mengakui tidak cukup uang untuk menebus 17% saham Newmont. Karena itu, gugatan arbitrase tersebut adalah cara elegan untuk membebaskan pemerintah dari hak pertama membeli saham dan membolehkan Newmont menawarkan pada pihak lain yang mampu membeli saham tersebut,” katanya.


Pemerintah disarankan menunjuk BUMN yang memiliki kemampuan secara finansial untuk mengakuisisi saham Newmont. Ryad menambahkan, pemerintah salah fatal dan melanggar kesepakatan yang tertera dalam KK terkait dugaan lalai (default) yang diajukan Dirjen Minerbapabum (saat itu Simon Felix Sembiring) terkait belum tuntasnya penawaran 17% saham NNT kepada pemda.
“Menurut kesepakatan, default hanya bisa diajukan bila para pihak tidak sedang terlibat dalam masalah. Pemerintah sudah melanggar kesepakatan tersebut,” ujarnya. (c122)
– Perbandingan antara Litigasi, Arbitrasi dan Perundingan 
• Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan.
• Arbitrase adalah pihak-pihak perselisihan memilih penyelesaian oleh seorang wasit atau lebih (tentunya lalu dalam jumlah yang ganjil agar supaya kemungkinan kelebihan suara pada saat memutus, walaupun untuk (pemutusan ini sebaiknya digunakan cara bermusyawarah), wasit atau wasit-wasit dimana biasanya adalah ahli atau ahli-ahli di dalam lingkungan cabang perniagaan atau perusahaan yang bersangkutan.
• Perundingan adalah pembicaraan tentang sesuatu, perembukan, permusyarawaratan. Perundingan merupakan tindakan atau proses menawar untuk meraih tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima. Dalam perundingan dibutuhkan tindakan kedua belah pihak baik yang nyata maupun yang tidak, dimana pihak-pihak yang berunding memberikan persetujuannya. Perundingan tidak mencari cara untuk memengaruhi satu pihak, namun terjadi karena kedua belah pihak merasakan hal yang sama: ingin mencapai kesepakatan.














Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar