Contoh Kasus Penyelesaian Sengketa Ekonomi
1. Penyelesaian Sengketa ekonomi dengan
cara Negosiasi
PT Sara Lee Indonesia, perusahaan
besar yang bergerak di consumer product, diguncang masalah dengan karyawanya.
Sekitar 200 buruh bagian pabrik roti yang tergabung dalam Gabungan Serikat
Pekerja PT Sara Lee Indonesia, menggelar aksi mogok kerja di halaman pabrik,
Jalan Raya Bogor Km 27 Jakarta Timur, Rabu (19/11/10).
Aksi mogok kerja ini, ternyata tidak hanya di Jakarta namun
serentak di seluruh distributor Sara Lee se-Indonesia. Bahkan, buruh yang ada
di daerah mengirim ‘utusan’ ke Jakarta untuk memperkuat tuntutannya. Utusan itu
bukan orang, namun berupa spanduk dari Sara Lee yang dikirim dari beberapa
daerah.
Dalam aksinya di depan pabrik, para buruh yang mayoritas
perempuan ini membentangkan spanduk berisikan tuntutan kesejahteraan kepada
manajemen perusahaan yang berbasis di Chicago Sara Lee Corporation dan
beroperasi di 58 negara, pasar merek produk di hampir 200 negara serta memiliki
137.000 karyawan di seluruh dunia.
Dengan mengenakan kaos putih dan ikat merah di kepalanya.
Buruh merentangkan belasan spanduk, di antaranya bertuliskan: “Kami bukan sapi
perahan, usir kapitalis”, “Rp 16 triliun, Bagian kami mana?”, “Jangan lupa
karyawan bagian dari aset perusahaan juga.” “Kami Minta 7 Paket”, “Perusahaan
Sara Lee Besar Kok Ngasih Kesejahteraan Kecil” juga tuntutan lain tentang
kesejahteraan dan gaji yang rendah.
Spanduk juga terpasang di pagar pabrik Sara Lee, juga ada
sehelai kain berisi tanda tangan para pekerja dan 12 poster yang mewakili suara
masing-masing tim dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Banyuwangi, Medan,
Makassar, Denpasar, Jember, Surabaya, Madiun, Kediri, Gorontalo, Samarinda,
Lombok dan Aceh.
Poster dari Surabaya GT tertera beberapa kalimat yang
berbunyi: “Kami tidak akan berhenti mogok, sebelum kalian penuhi tuntutan
buruh, penjahat aja tahu balas budi, kalian?” Juga poster dari Tim Banyuwangi
menyuarakan: “Kedatangan kami bukan untuk berdebat, kami datang untuk meminta
hak kami, jangan bersembunyi di belakang UU, dan jangan ambil jatah kami, ayo
bicaralah untuk Indonesia.”
“Kami terpaksa mogok karena jalan berunding sudah buntu dari
pertemuan tripartit antara manajemen perusahaan dengan serikat pekerja. Banyak
tuntutan yang kami ajukan mulai kesejahteraan, peningkatan jumlah pesangon dan
kompensasi dari manajemen,” ungkap seorang buruh wanita yang enggan disebut
namanya.
Buruh takut menyebut nama, sebab manajemen perusahaan akan
terus melakukan intimidasi yang menyakitkan. “Ini aksi dalam jumlah yang kecil,
dan menggerakan lebih besar dan sering melancarkan aksi, jika tuntutan kami tak
dikabulkan,” sambungnya.
Perwakilan manajemen sempat mengimbau peserta aksi mogok
untuk kembali bekerja melalui pengeras suara, namun ditolak oleh pekerja.
Hingga kini aksi buruh terus bertambah sebab karyawan dari distributor Jakarta,
Bogor, Tanggeran, Depok dan Bekasi satu persatu memperkuat aksinya itu.
Buruh lainnya mengatakan kasus ini bermula dari penjualan
saham Sara Lee dijual kepada perusahaan besar. Ternyata, perusahaan baru itu
Setelah enggan menerima karyawan lain, sehingga nasib karyawan menjadi
terkatung-katung. Bahkan, memutus hubungan kerja seenaknya saja. Buruh pun
aktif demo.
Sara Lee merasa malu dengan aksi yang mencoreng perusahaan
raksasa inim sehingga siap melakukan perundingan tripartit. Sayangnya, hingga
kini belum ada kesepakatan karena manajemen perusahaan memberikan nilai
pesangon yang sangat rendah, tak sesuai pengabdian karyawan.
Komentar :
Menurut saya,
Manajemen PT. Saralee harus berunding terlebih dahulu dengan para buruh agar
menemui suatu titik kesepakatan. Jika PT. Saralee tidak memperoleh laba yang ia
targetkan, seharusnya ia dapat mengambil kebijaksanaan yang tidak membuat salah
satu pihak rugi akan hal ini. Perundingan secara kekeluargaan adalah
satu-satunya solusi yang dapat meredam demo. Jika demo terus terjadi, pihak
Saralee malah akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi, karena jika
kegiatan operasional tidak berjalan seperti biasa, laba pun tidak akan
didapatkan oleh PT.Saralee.
2. Penyelesaian Sengketa dengan cara Mediasi
Sebuah organisasi pendidikan (dalam contoh kasus ini
disebut Organisasi X) dalam jangka waktu dua puluh lima tahun telah berkembang
dengan pesat; saat ini memiliki tiga institusi pendidikan tinggi, sekitar dua
puluh tiga ribu mahasiswa aktif, lebih dari seribu orang dosen dan sekitar
tuiuh ratus karyawan dengan lima lokasi kampus di berbagai tempat starategis di
pusat kota Jakarta. Didorong oleh konflik pribadi dengan pemilik organisasi,
ketidak puasan terhadap beberapa kebijakan kepegawaian dan didukung oleh sebuah
partai politik tertentu yang berniat menanamkan pengaruh dalam ketiga perguruan
tinggi milik organisasi tersebut, sekelompok karyawan muda membentuk sebuah
Serikat Pekerja (dalam tulisan ini disebut SP-A) di dalam organisasi tersebut.
Sepak terjang SP-A menjurus kontroversial,
provokatif terhadap sesama karyawan dan konfrontatif terhadap Organisasi X,
yang berdampak negatif terhadap suasana kerja dan kinerja organisasi dan
perguruan-perguruan tingginya, antara lain dalam bentuk kegelisahan, was-was,
saling curiga, tidak puas dan mengarah kepada perpecahan antar karyawan, yang
secara drastis menurunkan pruduktivitas karyawan dan organisasi. Situasi ini
menimbulkan kekhawatiran kepada sebagian besar karyawan maupun para pimpinan
organisasi dan institusi pendidikan tinggi yang ada di dalamnya; apabila
dibiarkan berlarut-larut dapat berakibat fatal terhadap eksistensi organisasi
dan seluruh karyawan yang bernaung di dalamnya.
Mengantisipasi kemungkinan tersebut kemudian
sekelompok karyawan senior yang mempunyai komitmen tinggi terhadap
organisasinya membentuk sebuah Serikat Pekerja baru (dalam tulisan ini disebut
SP-B).
Sasaran jangka pendek SP-B adalah : memulihkan
kembali iklim kerja yang kondusif, meningkatkan kembali produktivitas, dan
mengusahakan peningkatan kesejahteraan karyawan. Langkah-langkahnya cenderung
rasional, persuasif dan kooperatif baik kepada Organisasi X, SP-A maupun sesama
karyawan.
Komentar
:
Telah dilakukan upaya-upaya penyelesaian konflik di
antara ketiga pihak yang terlibat melalui negosiasi-negosiasi langsung, namun
tidak membawa hasil, sehingga kemudian SP–A membawa permasalahannya kepada
pihak ketiga (yaitu Departemen Tenaga Kerja) untuk bertindak sebagai mediator.
Mediasi langsung antara Mediator
dengan SP–A, tanpa melibatkan Organisasi X dan SP–B.
Mediasi langsung antara Mediator
dengan Organisasi X, tanpa melibatkan SP–A dan SP–B.
Mediasi langsung antara Mediator
dengan SP–B, tanpa melibatkan SP–A dan Organisasi X.
Mediasi langsung antara Mediator
dengan ketiga pihak yang terlibat konflik secara bersama-sama.
Melalui pendekatan-pendekatan intensif berdasarkan
peraturan ketenaga kerjaan yang berlaku oleh mediator kepada SP–A dan
Organisasi X melalui pertemuan-pertemuan formal dan informal, diperoleh hasil
sebagai berikut :
Pengurus dan anggota SP–A yang tetap bersikap
keras satu persatu mengundurkan diri, sedangkan anggota-anggota yang masih
ingin bekerja di Organisasi X sebagian bergabung dengan SP–B dan sebagian kecil
tetap di SP–A.
SP–B menjadi semakin eksis karena
missinya yang searah dengan missi Organisasi X : bekerja sama dengan Organisasi
X sebagai mitra untuk mensejahterakan karyawan melalui peningkatan
produktivitas, serta strateginya yang tepat : rasional, persuasif dan
koordinatif kepada SP–A, Organisasi X maupun Mediator.
Iklim kerja berangsur-angsur pulih
dan lebih kondusif
Motivasi kerja kembali meningkat
Produktivitas karyawan dan
institusi pendidikan meningkat
Peraturan kepegawaian dibakukan
dalam bentuk Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sesuai dengan arahan dari
Departemen Tenaga Kerja, sehingga ada kejelasan dan kepastian hukum yang dapat
di pegang oleh Organisasi X maupun karyawan, SP-A dan SP-B
3. Penyelesaian Sengketa dengan Arbitrase
Pemerintah Indonesia optimistis bakal memenangi arbitrase internasional
kasus PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang sidang perdananya dijadwalkan
berlangsung di Jakarta, Selasa (9/12). Namun, pemerintah RI terancam untuk
membayar kewajiban senilai US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 29 triliun.Besaran
kewajiban tersebut terdiri atas segala biaya yang dikeluarkan NNT berdasarkan
nilai buku dan beban atas 7.000 karyawan perusahaan tambang yang mayoritas
sahamnya dikuasai Sumitomo Corp dan Newmont Corporation Ltd tersebut. Selain
itu, pemerintah pun harus menyelesaikan kewajiban NNT terhadap pembeli yang
terkontrak, pemasok, dan kreditor.
Kemungkinan pemerintah bakal rugi bila memenangi arbitrase melawan NNT ini
pun secara eksplisit tampak dalam perjanjian kontrak karya (KK) yang diteken
pemerintah RI dan NNT. Pasal 22 butir (5) KK yang diteken NNT dan pemerintah RI
pada 2 Desember 1986 menyatakan; apabila pengakhiran (terminasi) terjadi selama
periode operasi atau sebagian akibat habisnya jangka waktu persetujuan ini,
semua harta kekayaan perusahaan, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang
berada di dalam wilayah KK harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah
dengan harga yang besarnya sama dengan ongkos perolehan atau menurut harga
pasar, mana yang lebih rendah, tetapi bagaimana pun tidak akan lebih rendah
dari nilai buku.
Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) Departemen ESDM
Bambang Setiawan mengatakan, bila pemerintah Indonesia memenangi gugatan,
pihaknya tidak mempersoalkan sekiranya harus memenuhi kewajiban yang diputuskan
dalam arbitrase.
“Kalau memang itu diatur dalam KK, ya harus dipenuhi. Namun, tidak serta merta
pemerintah yang membelinya, mungkin melalui BUMN sektor pertambangan, seperti
PT Aneka Tambang Tbk atau PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) Tbk,” ujar
Bambang kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.
Kendati begitu, Bambang berpendapat, nilai aset buku PT NNT saat ini harus
dibuktikan terlebih dahulu oleh sebuah lembaga audit independen. “Tidak bisa
asal disebut saja,” ujarnya.
Pasal 24 ayat 33 KK antara pemerintah RI dan NNT menyatakan; pemegang saham
asing NNT diwajibkan menawarkan saham NNT sehingga pada 2010 minimal 51% saham
NNT akan beralih ke pemerintah Indonesia atau peserta Indonesia lainnya. Saat
ini, 80% saham NNT yang mengeksploitasi tambang tembaga dan emas di Batu Hijau,
Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) dikuasai Nusa Tenggara
Partnership (Newmont 45% dan Sumitomo 35%). Sisa 20% saham dimiliki PT Pukuafu
Indah.
Pada 2006, NNT menawarkan 3% senilai US$ 109 juta saham kepada mitra Indonesia
dan masing-masing 7% pada 2007 senilai US$ 282 juta dan 2008 sebesar US$ 426
juta. Dua tahun lalu, NNT menawarkan saham kepada pemerintah daerah. Pemkab
Sumbawa dan Pemprov NTB memperoleh 2%, sedangkan Pemkab Sumbawa Barat 3%.
Dalam proses penawaran saham mencuat perbedaan penafsiran terhadap KK
khususnya pasal 24 antara pemerintah dan NNT. Persoalan yang muncul antara lain
soal saham NNT yang digadaikan kepada kreditor, kendati sebetulnya telah disetujui
pemerintah Indonesia pada 1997. Karena tidak ada kesepakatan, belakangan
pemerintah Indonesia secara bersamaan dengan PT NNT membawa kasus tersebut ke
ke arbitrase.
Menurut anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PAN Alvien Lie, bila ada ketentuan
pemerintah harus membayar kewajiban kepada NNT, pemerintah dapat membeli
perusahaan tersebut dengan diangsur. “Tidak ada aturan yang harus membayarnya
secara tunai. Diangsur saja misalnya 50 tahun,” jelasnya.
Dirut PTBA Sukrisno mengatakan, pihaknya hingga kini belum bisa berkomentar
terkait usulan pemerintah mengharuskan perusahaan membeli aset NNT. “Kami belum
tahu asal usul kedudukan NNT. Kalau pun ada gambaran soal pembelian, masih akan
dibicarakan lebih lanjut antara direksi, komisaris, dan pemegang saham,” katanya
di Jakarta, akhir pekan lalu.
Senior Director, Communications and Media Relations Newmont Mining Corporation
Omar Jabara yang dihubungi melalui surat elektronik di Denver, AS, Minggu
(7/12) tak bersedia memberi tanggapan. Juru bicara Newmont Rubi W Purnomo
kepada Investor Daily, kemarin, mengatakan, sampai saat ini pihaknya ingin
memberikan kesempatan bagi proses penyelesaian atas perbedaan melalui arbitrase
yang bebas dari sorotan dan spekulasi di media massa.
“Untuk itu, pada saat ini, kami tidak ingin memberikan pernyataan apapun yang
berhubungan dengan arbitrase dan divestasi PT NNT,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Centre for Indonesian Mining and Resources Law
Ryad A Chairil mengungkapkan, pemerintah tidak mungkin memenangi gugatan
arbitrase NNT. Sejak 17% saham itu ditawarkan, menurut Ryad, pemerintah pusat
maupun daerah tidak bisa menunjukkan dengan jelas pihak mana yang akan membeli
saham tersebut.
“Secara finansial, pemerintah bahkan mengakui tidak cukup uang untuk menebus 17%
saham Newmont. Karena itu, gugatan arbitrase tersebut adalah cara elegan untuk
membebaskan pemerintah dari hak pertama membeli saham dan membolehkan Newmont
menawarkan pada pihak lain yang mampu membeli saham tersebut,” katanya.
Pemerintah disarankan menunjuk BUMN yang memiliki kemampuan secara
finansial untuk mengakuisisi saham Newmont. Ryad menambahkan, pemerintah salah
fatal dan melanggar kesepakatan yang tertera dalam KK terkait dugaan lalai
(default) yang diajukan Dirjen Minerbapabum (saat itu Simon Felix Sembiring)
terkait belum tuntasnya penawaran 17% saham NNT kepada pemda.
“Menurut kesepakatan, default hanya bisa diajukan bila para pihak tidak sedang
terlibat dalam masalah. Pemerintah sudah melanggar kesepakatan tersebut,”
ujarnya. (c122)
– Perbandingan antara Litigasi, Arbitrasi dan Perundingan
• Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa,
kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian
atas kerusakan.
• Arbitrase adalah pihak-pihak perselisihan memilih penyelesaian oleh seorang
wasit atau lebih (tentunya lalu dalam jumlah yang ganjil agar supaya
kemungkinan kelebihan suara pada saat memutus, walaupun untuk (pemutusan ini
sebaiknya digunakan cara bermusyawarah), wasit atau wasit-wasit dimana biasanya
adalah ahli atau ahli-ahli di dalam lingkungan cabang perniagaan atau
perusahaan yang bersangkutan.
• Perundingan adalah pembicaraan tentang sesuatu, perembukan,
permusyarawaratan. Perundingan merupakan tindakan atau proses menawar untuk meraih
tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima. Dalam perundingan dibutuhkan
tindakan kedua belah pihak baik yang nyata maupun yang tidak, dimana
pihak-pihak yang berunding memberikan persetujuannya. Perundingan tidak mencari
cara untuk memengaruhi satu pihak, namun terjadi karena kedua belah pihak
merasakan hal yang sama: ingin mencapai kesepakatan.
Sumber
: